Tertangkapnya Keyko, mucikari yang memiliki jejaring luas senusantara, seolah menyibak praktik prostitusi terselubung yang berlangsung rapi dan terorganisir dalam jejaring yang luas. Terungkap pula, tak sedikit para pelaku prostitusi yang masih bertatus mahasiswi.
Ternyata, praktik prostusi terselebung tidak hanya dilakukan oleh para mahasiswi. Praktik di lembah hitam juga ditemukan di kalangan para pelajar SMA. Istilah "ayam kampus", sebutan untuk para mahasiswi yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK), berganti menjadi "ayam putih abu-abu".
"Kenapa harus cari ayam kampus lagi, sekarang banyak yang putih abu-abu, lebih seger dan mantap," ujar DS (36) seorang pria yang banyak tahu tentang seluk beluk prostitusi di Kota Manado, Sulawesi Utara.
DS lalu mengatur waktu untuk bertemu dengan pelajar "SMA plus" tersebut. Ternyata tidak hanya bertemu dengan satu orang, tapi tiga. Mereka adalah pelajar di sebuah SMK ternama di Kota Manado. IL, DP, VK, ketiganya merupakan pelajar kelas II SMK. Mereka satu geng. Dengan sedikit usaha menyakinkan, ketiga pelajar yang masih berseragam ini menceritakan praktik mereka.
"Satu minggu torank pe geng boleh dapa lima tamu (Seminggu geng kami bisa dapat sampai lima pelanggan)," ujar IL.
Untuk mencari pelanggan, mereka cukup nongkrong di pusat perbelanjaan dan mal, lengkap dengan pakaian seragam mereka agar calon pelanggan yakin bahwa mereka masih pelajar. Mereka duduk di cafe-cafe dan bersikap centil untuk menarik perhatian.
"Torank biasa ja kase kode deng cuma ba pesan minuman juice ndak pesan makan (Kami biasanya memberi kode dengan hanya memesan satu gelas minuman juice, tidak dengan makanan)," ungkap DP.
Para lelaki hidung belang yang juga sering datang ke cafe-cafe tersebut untuk mencari mangsa sudah paham dengan isyarat terselubung ini. Jika melihat ada pelajar duduk hanya dengan satu minuman juice di meja, mereka langsung mendekat dan minta bergabung.
Awalnya berkenalan, lalu mentraktir pesanan si pelajar, kemudian saling tukar nomor handphone. Setelah itu, calon pelanggan pergi dengan meninggalkan sejumlah uang untuk membayar pesanan makanan dan minuman. Pada saat berpisah itulah tawar menawar terjadi lewat SMS (short message service). Jika harga setuju, pelanggan akan menunggu di kamar hotel.
Para pelajar "plus" itu pun bermetamorfosis, menuju toilet yang ada di pusat perbelanjaan dan keluar sudah dengan pakaian berbeda. "Torank so ja sadia baju dari rumah, isi di tas, ja baganti kalo so dapa tamu (Kami sudah bawa baju ganti dari rumah yang diisi di tas sekolah, dan siap diganti juga sudah deal dengan pelanggan)," tutur DP.
Soal harga, biasanya mereka mematok angka Rp 1 juta untuk sekali main. Pelanggan yang membayar semua, termasuk pesanan makan minum, taksi menuju hotel dan kamar hotel. "Mar lengkali kalo dapa lia banyak doi torank kase harga lebe mahal, bisa sampe 3 juta (Tapi kadangkala kalau pelanggan kelihatan banyak duit, tarifnya bisa Rp 3 juta)," timpal VK tanpa sungkan.
Jika hanya ada satu pelanggan yang dilayani, dua anggota geng lainnya biasanya menunggu di lobby hotel. Tapi tak jarang mereka minta dibayarkan kamar satu lagi sebagai tempat menunggu.
Tak jarang, mereka mengaku harus melayani pelanggan saat jam sekolah. Pilihan membolos pun harus dijalani. Kalau pun melayani di luar jam sekolah, biasanya tidak sampai larut malam.
"Paling hanya sampe jam 7 malam, susah cari alasan pa ortu (Hanya sampai jam 7 malam, sulit buat alasan sama orang tua)," ujar VK lagi.
Apa alasan utama mereka melakukan praktik terlarang ini? "Tu doi yang ja dapa ja bili akang tu blackberry, tab deng pake foya-foya noch (Uang yang kami dapat dibelikan blackberry, tab dan untuk berfoya-foya)," aku DP.
Dalam pergaulan mereka, ada semacam kompetisi untuk tampil gaya. "Torank pe geng nimbole kalah gaya deng yang laeng, torank musti dapa lia lebe mantap (Geng kami tidak bisa kalah mode dengan geng yang lain, harus lebih mantap)," kata IL bersemangat. ()